Thursday, December 16, 2010

dunia download (e-book) free
e-books
e-learning for kids

Apa E-LEARNING itu?

            Sistem pembelajaran elektronik atau e-pembelajaran (Inggris: Electronic learning disingkat E-learning) adalah cara baru dalam proses belajar mengajar. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan e-learning, peserta ajar (learner atau murid) tidak perlu duduk dengan manis di ruang kelas untuk menyimak setiap ucapan dari seorang guru secara langsung. E-learning juga dapat mempersingkat jadwal target waktu pembelajaran, dan tentu saja menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah program studi atau program pendidikan.
Seperti Sebagaimana yang disebutkan di atas, e-learning telah mempersingkat waktu pembelajaran dan membuat biaya studi lebih ekonomis. E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi, peserta didik dengan dosen/guru/instruktur maupun sesama peserta didik. Peserta didik dapat saling berbagi informasi dan dapat mengakses bahan-bahan belajar setiap saat dan berulang-ulang, dengan kondisi yang demikian itu peserta didik dapat lebih memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran.
            Dalam e-learning, faktor kehadiran guru atau pengajar otomatis menjadi berkurang atau bahkan tidak ada. Hal ini disebabkan karena yang mengambil peran guru adalah komputer dan panduan-panduan elektronik yang dirancang oleh "contents writer", designer e-learning dan pemrogram komputer.
Dengan adanya e-learning para guru/dosen/instruktur akan lebih mudah :
  1. melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang mutakhir
  2. mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna meningkatkan wawasannya
  3. mengontrol kegiatan belajar peserta didik.
            Kehadiran guru sebagai makhluk yang hidup yang dapat berinteraksi secara langsung dengan para murid telah menghilang dari ruang-ruang elektronik e-learning ini. Inilah yang menjadi ciri khas dari kekurangan e-learning yang tidak bagus. Sebagaimana asal kata dari e-learning yang terdiri dari e (elektronik) dan learning (belajar), maka sistem ini mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Sejarah dan Perkembangan E-learning

             E-pembelajaran atau pembelajaran elektronik pertama kali diperkenalkan oleh universitas Illinois di Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruction ) dan komputer bernama PLATO. Sejak itu, perkembangan E-learning dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
         (1) Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan AUDIO) DALAM FORMAT mov, mpeg-1, atau avi.
         (2) Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara massal.
         (3) Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak , dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, SCORM, IEEE LOM, ARIADNE, dsb.
         (4) Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah, dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia , video streaming, serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar, dan berukuran kecil.

eLearning 2.0

            Istilah e-Learning 2.0 digunakan untuk merujuk kepada cara pandang baru terhadap pembelajaran elektronik yang terinspirasi oleh munculnya teknologi Web 2.0. Sistem konvensional pembelajaran elektronik biasanya berbasis pada paket pelajaran yang disampaikan kepada siswa dengan menggunakan teknologi Internet (biasanya melalui LMS). Peran siswa dalam pembelajaran terdiri dari pembacaan dan mempersiapkan tugas. Kemudian tugas dievaluasi oleh guru. Sebaliknya, e-learning 2.0 memiliki penekanan pada pembelajaran yang bersifat sosial dan penggunaan perangkat lunak sosial (social networking) seperti blog, wiki, podcast dan Second Life. Fenomena ini juga telah disebut sebagai Long Tail learning.
Selain itu juga, E-learning 2.0 erat hubungannya dengan Web 2.0, social networking (Jejaring Sosial) dan Personal Learning Environments (PLE).

Hambatan2 dalam belajar

Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan, ataupun gangguan dalam belajar.
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (Academic Performance) yang memuaskan. Namun, dari kenyataan dalam sehari-hari, tampak jelas bahwa siswa itu mempunyai perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa yang lainnya.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditujukan pada siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga para siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa yang berkategori “diluar rata-rat” itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadahi untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sinilah kemudian timbul apa yang disebut kesulitan belajar (Learning Dificullity) yang tidak hany menimpa siswa yang berkemampuan saja, tetapi dialami juga oleh siswa yang bermampuan tinggi. Selain itu, kesulitan belajar, juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rat (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik sesuai dengan harapan.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
  1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
  2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
  3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
  4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
  5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
    1. Faktor-faktor kesulitan belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri dari dua macam.
  1. Faktor Intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa tersebut.
  2. Faktor ekstern sisa, yakni hak-hak atau keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut di bawah ini :
  1. Faktor intern siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psikofisik siswa, yakni :
  1. Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi siswa;
  2. Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.
  3. Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
  1. Faktor ekstern siswa
Yakni kesulitan yang datang dari luar diri siswa. Faktor eksternal siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas belajar siswa.

  1. Keluarga
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Tetapi dapat juga sebagai faktor penyebab kesulitan belajar. Yang termasuk faktor ini antara lain seperti cara mendidik orang tua yang salah, hubungan kurang harmonis antara orang tua dan anak, tauladan buruk dari orang tua serta kondisi ekonomi yang terlampau kaya atau miskin,

  1. Lembaga pendidikan atau sekolah
Begitu juga sekolah juga bisa menjadi faktor penyebab kesulitan belajar diantaranya:
  • Terdapat masalah pada guru, diantaranya guru tidak sesuai kelifikasi keilmuan, hubungan guru dengan murid kurang baik, dan guru menuntut standard pelajaran diatas kemampuan murid-muridnya.
  • Alat pelajaran yang kurang lengkap.
  • Kondisi gedung yang tidak kondusif, seperti terlalu sempit/lebar, dekat dengan pasar dan lain sebagainya.
  • Kurikulum yang kurang baik, misalnya bahan-bahannya terlalu tinggi, pembagian bahan tidak seimbang dan lain sebagainya.
  • Waktu sekolah yang tidak efektif, misalnya masuk sekolah terlalu lama, masuk sekolah pada siang atau malam hari dan lain-lain.

  1. Lingkungan
Lingkungan yang salah juga akan menimbukan kesulitan dalam belajar. Misalnya teman bergaul yang rusak, lingkungan tetangga yang tidak harmonis, dan terlalu padat dalam mengikuti organisasi atau kursus.

  1. Negara
Aturan dari negara yang kurang mendukung proses belajar mengajar juga bisa menjadi faktor penyebab kesulitan belajar.

Selain faktor-faktor yang bersifat umum diatas, ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar pada siswa. Diantara faktor-faktor yang dipandang sebagai faktor khusus ialah sindrom psikologis berupa Learning disability (keridakmampuan belajar). Sindrom (Syndrome) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indicator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.
  1. Disleksia (Dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca.
  2. Disgrafia (Dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis.
  3. Diskalkulia (Dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.

          Akan tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom diatas secara umum sebenarnya memeliki IQ yang normal bahkan diantaranya ada yng memilki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang memnderita sindro-sindrom tadi mungking hanya disebabkan oleh adanya minimal Brain Dysfunction yaitu gangguan ringan pada otot (Lask, 1985: Reber, 1988).
    1. contoh-contoh kesulitan belajar
          Anak yang memiliki keterlambatan kemampuan membaca, mengalami kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata (misalnya huruf atau suara yang seharusnya tidak diucapkan, sisipan, penggantian atau kebalikan) atau memahaminya (misalnya, memahami fakta-fakta dasar, gagasan, utama, urutan peristiwa, atau topic sebuah bacaan). Mereka juga mengalami kesulitan lain seperti cepat melupakanapa yang telah dibacanya. Sebagian ahli berpendapat bahwa seperti itu merupakan dasar bagi keterlambatan kemampuan membaca. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut keterlambatan membaca adalah disleksia.
Dalam sebuah pelatihan menjadi ahli ilmu kesehatan anak, terdapat seorang ahli ilmu kesehatan yang bernama Stephen yang tidak pernah menulis apapun di ataskertas.Ia menggunakan mesin ketik yang dapat dibawa kemana-mana (portable) untuk segala sesuatu laporan pasien, catatan singkat. Kemudian diketahui bahwa Stephen memang tidakdapatmenulis secara jelas.seberapapun ia mencoba dengan kerasia tidakdapat menulis apapun dengan jelas, sehingga dia dan orang lain tidakdapat membaca tulisan tangannya.
Anak yang mengalami problem dyscalculia merupakan anak yang memiliki masalah pada kemampuan menghitung.Anak tersebut tentunya belum tentu anak yang bodoh dalam hal yang lain, hanya saja ia mengalami masalah dengan kemampuan menghitungnya. Untuk lebih jelas mengenaig ambaran anak yang mengalami problem dyscalculia, perhatikanlah contoh kasus berikut.
       SeoranganakbersamaJesica (sepuluhtahun, duduk di kelas V) didapati mengalami masalah dengan matapelajaran matematika.Nilai matematika yang Jessica dapat selalu rendah, walaupun pada matapelajaran lain, nilainya baik.Lalu seorang guru memanggilnya, dan memberinya lembar kertasdan pensil dan memintanya menyelesaikan soal berikut :Jones seorang petani memiliki 25 pohon apel dan tiap pohon menghasilkan 50 kilogram apel pertahun, berapa kilogram apel yang dihaislkan Jones tiap tahun?. Ia berusaha keras menemukan jawabannya tetapi tetap tidak bisa. Ketika guru bertanya bagaimana cara menyelesaikan, ia menjawab, ia harus mengalikan 25 dengan 50, akan tetapi ia tidak dapat menghitungnya. Kemudian guru memberinya kalkulator, dan kemudian ia dapat menghitungnya. Inilah gambaran seorang anak yang mengalami problem “dyscalculia”

Sunday, October 24, 2010

Cara Asyik Belajar Matematika


“Vi, Vi, percaya enggak kalau Kak Asro bisa menebak isi hati seseorang!” kata Asro di suatu sore hari. Alvi duduk dekat ayah, sedangkan Asro duduk dekat Ibu.
“Ah, bohong, enggak percaya!”
“Oke, sekarang coba kamu pikirkan sebuah bilangan. Akan Kakak buktikan kalau Kakak bisa menebak bilangan yang kamu simpan dalam hatimu!” kata Asro pada Alvi.
“Iya, aku sudah memikirkan sebuah bilangan dalam hati!” kata Alvi menuruti kata-kata Asro.
“Sekarang, coba kalikan bilangan yang kamu simpan dengan 4,” lanjut Asro meminta Alvi.
“Sudah!”
“Hasilnya tambahkan dengan 5″
“Sudah!”
“Berapa hasil akhirnya?”
“17.”
“Mmm… pasti bilangan yang kamu simpan dalam hati adalah 3, bener, kan?”
“Haa… bener, kok bisa sih?”
“Hahaha… tuh kan akhirnya kamu percaya kalau Kak Asro bisa menebak isi hati seseorang!” kata Asro tertawa bangga.
“Kasih tahu, dong, caranya…” rengek Alvi.
===Dan seterusnya.===
Ya, itulah satu contoh penggalan isi buku “Ngobrol Mat: Cara Asyik Belajar Matematika” yang saya tulis dan baru saja diterbitkan oleh Gagasmedia, Jakarta, pada akhir Maret 2010 ini.
Buku ini mengandung obrolan-obrolan berbentuk cerita seputar matematika yang ditulis berdasarkan pengamatan, pengalaman sehari-hari, dan berlandasakan teori pendidikan matematika yang sedang digandrungi di berbagai belahan dunia saat ini. Obrolan-obrolan atau cerita matematika yang dituangkan bisa dikatakan sangatlah ringan dan dapat dinikmati siapa saja sebab ditulis dengan bahasa sederhana, bahasa obrolan sehari-hari berdasarkan pengamatan dan pengalaman. Tak hanya itu, buku tersebut ditulis berdasarkan hasil riset terbaru dalam bidang Realistic Mathematics Education yang tekanan utamanya adalah mengembangkan kemampuan problem solving atau pemecahan masalah dan berpikir kreatif, khususnya dalam matematika.
Selain dua kelebihan tersebut, buku “Ngobrol Mat” pun memiliki kelebihan-kelebihan lain yang tak dipunyai oleh buku-buku yang pernah hadir di tanah air. Pertama, obrolan-obrolan matematika yang ada tertuang lewat perilaku yang diperankan oleh tokoh cerita secara lugas, sederhana, cerdas, tak dibuat-buat, dan khas Indonesia. Anda yang membacanya, hampir dapat dipastikan, akan aktif terlibat dalam suasana cerita.
Kedua, ‘wajah’ matematika yang tampak di buku ini, bukanlah wajah matematika yang selama ini digambarkan oleh buku-buku matematika yang pernah ada. Tetapi yang tampak adalah ‘wajah’ matematika yang bersahabat, akrab bagi siapapun yang membacanya. Mengapa begitu? Matematika yang ditampilkan di buku ini adalah matematika yang benar-benar sesuai wujudnya sebagai “aktivitas manusia.”
Ketiga, untuk memahami buku ini, Anda tak perlu memiliki pengetahuan matematika yang tinggi. Cukup berbekal pengetahuan matematika SD, Anda akan dapat memahaminya dengan baik. Oleh karena itu, selain untuk umum, buku ini amat cocok dibaca oleh para siswa SD (khususnya mulai kelas 4), SMP, dan SMA.
Keempat, buku ini dapat dipakai oleh para mahasiswa calon guru, guru matematika sebagai bahan rujukan untuk mengenalkan matematika secara ringan, asyik, dan menyenangkan. Selain itu, buku ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan bagaimana mengajarkan matematika secara kreatif dan bakal disukai siswa.
Tentu, masih banyak lagi kelebihan-kelebihan lainnya. Tidak percaya? Silakan buktikan sendiri kelebihan-kelebihan yang sudah dikemukakan tadi, dan temukan kelebihan-kelebihan lainnya. Caranya? Tentu dengan membaca dan mengkritisi buku “Ngobrol Mat” ini. Ok? :)
==============================================
Ya sudah, sampai di sini dulu ya jumpa kita kali ini. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.

Proses Belajar Mengajar yang Efektif dan Efisien

Menurut Popham dan Baker dalam Hadi dkk (1992), proses belajar mengajar yang efektif adalah kemampuan untuk menghasilkan perubahan yang diharapkan dari kemampuan dan persepsi siswa. Lebih jauh, Popham dan Baker menjelaskan bahwa proses belajar mengajar yang efektif tergantung pada pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan proses belajar mengajar.
Sedangkan Alatis dan Altman (1981: 44) mengusulkan bahwa untuk memaksimalkan keefektifan, seorang guru perlu memahami ketidaksesuaian antara apa yang dibawa siswa dalam situasi pembelajaran bahasa yang formal dan tuntutan yang diminta oleh guru dan teks, tuntutan sistem ujian, dan harapan untuk prospek ke depan.
Ahli lain, McWhorter (1992: 3) menyatakan bahwa efisiensi adalah kemampuan untuk menunjukkan sesuatu dengan sedikit usaha, biaya, dan pengeluaran. Efisiensi mencakup penggunaan waktu dan sumber daya secara efektif untuk menyelesaikan tugas tertentu.
Sebagai kesimpulan, ada dua hal utama yang diperlukan untuk mencapai proses belajar mengajar yang efektif. Pertama, harus ada kegiatan analisis kebutuhan siswa. Kebutuhan siswa adalah hubungan antara kemampuan dan harapan siswa dari proses pembelajarannya. Kedua, harus ada gambaran seperti apa sistem ujian yang dipakai. Jadi, harus ada kesesuaian antara kebutuhan siswa dan sistem ujian. 

Pembelajaran Reading

Carrel dkk (1988: 12) menyatakan bahwa reading adalah kemampuan bahasa yabg reseptif. Maksudnya adalah proses psikolinguistik dimana hal ini dimulai dengan perwujudan unsur kebahasaan yang disandikan oleh penulis dan diakhiri dengan makna yang dibentuk oleh pembaca.
Reading (membaca) yang efektif adalah kemampuan seseorang untuk membentuk makna dari teks yang sesuai dengan maksud penulis. Seseorang dikatakan mempunyai kemampuan membaca secara efisien jika dia mampu menggunakan waktu yang tersedia dengan efektif untuk membaca dan memahami makna yang terkandung pada bacaan. 

Pembelajaran Writing

Menurut Borowich (1996: 13), untuk melakukan kegiatan writing (menulis) yang efektif diperlukan banyak waktu, atau bahkan bisa dikatakan pemborosan waktu. Seorang penulis membutuhkan waktu yang longgar untuk mengekspresikan gagasan, menyusunnya, dan menulis ulang sehingga menghasilkan tulisan yang baik. Harmer (1983: 48) menuliskan bahwa dalam mengajarkan writing, guru harus mempertimbangkan beberapa hal, misalnya penyusunan kalimat menjadi paragraf, bagaimana paragraf digabungkan, dan pengelompokan gagasan sehingga menjadi tulisan yang koheren.
Dengan mengacu pada teori-teori di atas, seorang penulis akan menghabiskan banyak waktu untuk menghasilkan tulisan yang baik. Penulis melakukan berbagai langkah, mengungkapkan gagasan, menyusun dan menulis ulang gagasan tersebut. Efisiensi dapat diperoleh apabila penulis mempunyai konsep yang jelas sebelum memulai kegiatannya. Menulis secara efektif dan efisien akan menghasilkan tulisan yang baik yaitu tulisan yang koheren. 

Pembelajaran Listening

Harmer (1983) menyatakan bahwa listening (mendengarkan) sebagai suatu keterampilan berbeda dengan writing. Dalam listening, pendengar tidak dapat melihat apa yang dia dengarkan, tetapi hanya bisa mendengarkannya. Harmer juga menjelaskan tentang kriteria materi untuk listening. Menurutnya, dengan melihat kesulitan yang ada dalam materi listening, kita akan mempunyai gambaran untuk menanganinya. Pertama, kita harus memahami materi seperti apa yang ingin didengarkan oleh siswa. Kedua, jika memungkinkan, guru memberikan bantuan kepada siswa untuk memahami teks. Yang terakhir dan mungkin yang paling penting, kita harus yakin pada kualitas tape recorder yang kita gunakan untuk kegiatan listening.

Pembelajaran Speaking

Menurut Finnochiaro dan Bonomo (1973: 110), untuk menumbuhkan minat dan mendorong komunikasi, percakapan sederhana harus diikutsertakan pada awal pembelajaran, lagu harus diajarkan, cerita harus diperkenalkan sehingga siswa dapat meresponnya. Tetapi, pada waktu yang bersamaan juga harus diajarkan tentang unsur-unsur bahasa yang lainnya, seperti grammar dan pronunciation.

Sedangkan Robinett (1978) menjelaskan bahwa aktifitas lisan akan lebih bisa dikendalikan, atau dengan kata lain lebih bebas. Dia juga menyatakan bahwa harus diperhatikan juga masalah yang berkaitan dengan pengucapan (pronunciation) pada waktu mengajarkan speaking.Kesimpulannya, pembelajaran speaking (berbicara) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari terutama berkaitan dengan komunikasi yang dilakukan setiap hari. Untuk mencapai pembelajaran speaking yang efektif, proses pembelajaran harus berhubungan dengan percakapan yang autentik. Selain itu guru juga harus bisa mendorong siswa untuk mengekspresikan gagasannya dalam kelas. Dalam pembelajaran speaking, grammar (termasuk kosakata dan structure) sebaiknya diajarkan selangkah demi selangkah sehingga siswa dapat mengikuti dengan baik dan akan tercapai hasil sesuai yang diharapkan.